PERJALANAN MENGARUNGI LAUTAN, MENCAPAI NEGERI PARA RAJA, TUNTAS 300 TAHUN KEMUDIAN
Waisai, Raja Ampat – Alkisah, dua kakak beradik, yakni Mambibi Sareo dan Abraham Sareo lahir di Pulau Biak. Beranjak dewasa, dua orang kakak beradik ini terpisah karena sang kakak, Mambibi Sareo yang memiliki kecakapan dalam menaklukkan ombak dan mengarungi samudra memutuskan untuk mengikuti rekan-rekannya dalam ekspedisi besar masyarakat Biak untuk merantau dan menjelajahi pulau besar Papua.
Kayuhan dayung dan hempasan ombak yang memukul badan perahu kajang yang digunakannya membawanya ke perairan pulau Waigeo, Raja Ampat. Karena merasa asing dan belum bertemu masyarakat asli, perahu kajang yang digunakannya itu hanya dibiarkan tetap berlabuh dilepas pantai.
Setelah menunggu sekian lama, Mambibi akhirnya bertemu dengan masyarakat asli Raja Ampat, yakni suku Maya Raja Ampat, yang datang dari Teluk Mayalibit. Masyarakat suku Maya saat itu datang menemui Mambibi untuk memperingatkannya tentang para bajak laut dari Halmahera yang sering mengganggu para nelayan masyarakat suku Maya, bahkan hingga tidak segan-segan melukai dan membunuh jika mereka melawan para bajak laut.
Mendengar keluhan itu, Mambibi yang sejak muda dijuluki jagoan atau Mambri oleh masyarakatnya di Biak Supiori, menenangkan utusan dari masyarakat Suku Maya. Bahkan ia mengajak para utusan itu untuk pindah dan hidup bersamanya dipesisir selatan Waigeo ini. Ia meyakinkan para utusan bahwa ia terkenal kuat dan ahli dengan ilmu-ilmu warisan dari nenek moyangnya di Biak.
Ketika gerombolan bajak laut mulai terlihat di laut hendak menuju ke pesisir pulau Waigeo, masyarakat suku Maya pun kembali ke dalam rimbunan hutan. Para bajak laut pun melihat perahu kajang Mambibi yang tertambat dilepas pantai pulau Waigeo, tahulah mereka ada orang asing yang datang ke pulau jarahan favorit mereka. Mereka kemudian memutuskan untuk bertemu Mambibi sekaligus mengambil jarahan seperti biasanya dari suku Maya. Sebuah perahu dilepas menuju pantai dan melihat Mambibi yang telah menunggu mereka di pantai berpasir putih dengan tongkat tokongnya. Tongkat panjang yang biasanya digunakan sebagai pengarah kapal saat mencapai daratan atau menghindari terumbu karang perairan dangkal ini, berputar dan bergerak lincah oleh tangan kuat Mambibi. Pamer kekuatan itu diperlihatkan Mambibi dihadapan para bajak laut sebagai tanda ia tak gentar meski melihat para perompak dan bajak laut tersebut turun dari perahu dengan senjata tajam dan tongkat pemukul.
Perkelahian dan adu kekuatan pun terjadi. Namun Mambibi yang hanya seorang diri, akhirnya menggunakan ilmu gaib yang dimilikinya, saat mantera dan gerakan yang dipelajarinya dari leluhurnya dikerahkan, perkelahian yang tadinya berat sebelah pun berakhir dengan banyaknya jatuh korban dipihak perompak dan bajak laut Halmahera. Maka, takutlah mereka, serta berlarian melarikan diri. Mambibi memutuskan membiarkan satu kapal mereka untuk kembali ke sarangnya sekaligus untuk menyiarkan kabar
Setelah peristiwa tersebut, tidak ada lagi para perompak dan bajak laut yang datang ke pulau Waigeo. Atas jasanya memberikan rasa aman di laut pulau Waigeo, Kepala Suku Masyarakat Maya saat itu menyerahkan pesisir yang ditempati Mambibi untuk menjadi miliknya. Mambibi pun mulai menggiring masuk perahu kajangnya hingga naik ke daratan. Perahu besar itu pun diubahnya untuk menjadi tempat tinggal permanen, dan ia menamakan pantai dan daerah tersebut dengan nama keluarganya, yaitu Sareo atau dikemudian hari menjadi Saleo.
Nama Keluarga yang Berubah Akibat Dialek Lokal
Mambibi Sareo yang memutuskan tinggal di pesisir selatan pulau Waigeo ini kemudian menikah dan memiliki keturunan yang dibesarkannya disepanjang pesisir ini. Alhasil, banyak penduduk lain pulau Waigeo akhirnya memutuskan untuk tinggal dan menetap bersama sang Mambri dari pulau Biak ini. Awalnya ia dikenal dengan julukannya yang telah terkenal, Mambibi Sareo. Tapi, diakibatkan adanya perubahan pengucapan dan dialek penduduk lokal pada huruf ‘r’ yang berubah bunyi menjadi ‘l’, maka nama keluarga Mambibi perlahan berubah menjadi Saleo. Pengucapan nama baru ini berlangsung cukup lama dan anak cucu Mambibi Sareo dikemudian hari pun menerima hal tersebut. Sehingga, selain nama keluarga yang menyesuaikan, nama pantai ini pun menjadi Pantai Saleo.
Pertemuan Bersejarah
Di sisi lain, adik dari Mambibi Saleo, yakni Abraham Sareo, yang tak kunjung mendapatkan kabar perihal keadaan kakaknya yang pergi berlayar, mengira kakaknya itu telah tewas dalam perjalanan atau mendapatkan bencana dan kecelakaan dilautan luas sehingga tidak bisa kembali ke kampung. Dugaannya ini dibiarkan dan diyakini Abraham sampai saat ini.
Siapa menduga, rentang waktu 300 tahun perpisahan dari dua garis keturunan ini akhirnya mencapai titik ahir. Dua garis keturunan kakak adik ini, yaitu Hj. Alfiah Saleo, dan Arnold Sareo berumur panjang dan bertemu di pantai sang kakek buyut pada penghujung akhir tahun 2021. Meski Kapal kajang yang dinaikkan ke daratan telah membusuk dan hancur secara alami, kedua keturunan ini bersama keluarga besar mereka sepakat untuk menyelenggarakan acara adat untuk mengenang peristiwa sejarah leluhur mereka.
Berawal dari salah satu keturunan Mambibi Saleo mengunjungi Biak pada tahun 2020 lalu. Disana, yang bersangkutan sempat ditanyakan asal-usul leluhur dan hubungannya dengan marga Sareo yang ada di Biak dan Supiori. Saat mendengar keterangan bahwa ia adalah keturunan Mambibi Sareo yang berhasil tiba dan memiliki anak cucu dipesisir selatan pulau Waigeo, seketika keturunan Abraham Sareo yang melakukan konfirmasi menyahut dengan sukacita dan bahagia, karena saudara mereka yang diperkirakan hilang dan tak berkabar saat merantau, ternyata berhasil berlayar hingga ke pulau seberang. Bukan hanya itu, bahkan saudaranya itu telah memiliki keturunan yang banyak dan mendiami wilayah-wilayah pesisir di Waigeo.
Setelah bertukar kabar melalui perangkat seluler, keluarga keturunan Abraham Sareo, yakni keluarga kakak-adik Arnold dan Hendrik Sareo merencanakan akan mengunjungi kakak mereka yang ada di Raja Ampat. Berbagai persiapan pun disiapkan Hj. Alfiah Saleo dan adik-adiknya untuk menyambut para saudaranya itu. Sebagai anak tertua dan keturunan langsung Mambibi Saleo, wanita yang akrab dipanggil mama haji Saleo ini kemudian membangun monumen perahu kajang tepat diatas tanah, bekas tempat lunas perahu kajang Mambibi Saleo.
Acara adat yang dimulai pada Minggu, 19 Desember 2021 hingga Selasa, 21 Desember 2021 ini diawali dengan prosesi penyambutan dengan tari-tarian serta reka ulang penjemputan oleh keluarga mama haji Saleo. Saat Mansorandak, atau prosesi selamat datang, yang biasanya menggunakan air, digantikan pasir putih pantai Saleo, karena menurut mama haji Saleo, penggunaan air hanya bagi yang baru datang ke Raja Ampat, sedangkan keluarga Arnold Sareo adalah keluarganya yang datang, sehingga menggunakan pasir putih pantai Saleo.
Pada acara resepsi hari Selasa, Keluarga Besar Saleo dan Sareo meresmikan monumen perahu kajang yang kemudian diberi nama Ponsauw yang terdiri atas kata Pon yang berarti terdahulu datang dan Sauw yang berarti dermaga atau pelabuhan. Lalu, kedua keluarga pun sepakat memberikan julukan Yenkamara, yang bermakna perempuan yang berani dan perkasa, kepada Hj. Alfiah Saleo, juga julukan Inda Manam diberikan kepada adiknya, yaitu Sarah Saleo yang bermakna perempuan berwajah elok dan manis.